Judul : Salah Pilih
Pengarang : Nur Sutan Iskandar
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan Pertama tahun 1928
Unsur intrinsik :
Tokoh dan Penokohan :
- Asri : patuh terhadap orang tua, penyayang, lapang dada, sabar, terpelajar, berbudi halus
- Asnah : baik, berbudi luhur, ramah, sopan, lembut, pemaaf, patuh dan taat pada orang tua, sedikit tertutup
- Mariati : baik hati, walau kadang sikapnya ketus dan masam, namun begitu penyayang tehadap keluarganya.
- Sitti Maliah : baik hatinya, penyayang,
- Saniah ( istri Asri ) :pandai berpura-pura, angkuh, sikapnya bengis, cara bicaranya kasar dan suka menyindir dengan kata-kata yang pedas.
- Rusiah ( kakak Saniah ) : sabar, baik budinya, lembut
- Rangkayo Saleah ( Ibu Saniah ): angkuh, sombong, tinggi hati
-Dt. Indomo ( Ayah Saniah ) : walaupun baik tetapi terlalu takut terhadap istrinya sehingga tidak dapat tegas dalam mengambil keputusan
- Kaharuddin ( Kakak Saniah ) : rendah hati, tidak suka membeda-bedakan orang karena perbedaan harta dan kekayaan saja
- Mariah : baik, menyayangi Asnah layaknya anaknya sendiri setelah Mariati meninggal dunia.
- Dt. Bendahara : memegang teguh adat, namun tidak mau mendengarkan pendapat orang lain yang bertentangan dengannya.
- Tema : kesalahan seseorang dalam menentukan pilihan,
Perjuangan melawan adat yang tidak sesuai dengan hati, kemajuan zaman, dan hukum syara (agama)
- Walaupun sudah berpendidikan tinggi, hendaknya janganlah lupa pada adat negeri sendiri.
- Janganlah
menilai seseorang hanya dari rupa dan harta saja, karena belum tentu
seorang yang bagus rupa dan banyak harta, bagus pula perilaku dan
akhlaknya.
- Jangan suka membeda-bedakan orang karena hartanya, karena banyak orang yang miskin harta tetapi memiliki kekayaan jiwa.
- Menurut
pada perintah dan nasihat orang tua itu wajib hukumnya, tetapi jika
perintah orang tua itu menuntun pada jalan yang salah, sebaiknya sebisa
mungkin harus bisa menolaknya.
- Larangan
dalam Adat istiadat memang harus dipatuhi, namun jika agama saja
membenarkan dan tidak melarangnya, sebaiknya kita berpegang teguh kepada
hukum yang lebih tinggi nilainya yaitu hukum agama.
- Sesuatu
yang menurut orang banyak itu salah, belum tentu itu merupakan suatu
kesalahan. Karena pada dasarnya, kebenaran itu bukan dilihat dari berapa
banyak orang yang mempercayainya, tetapi atas dasar apa sesuatu itu
dapat disebut sesuatu yang benar.
- Alur : alur yang digunakan adalah alur maju
- Latar :
latar tempat sebagian besar di Daerah Minangkabau, yaitu Maninjau,
Sungaibatang, Bayur, dan Bukittinggi. Sebagian juga mengambil latar
tempat di Pulau Jawa.
- Sudut Pandang : novel ini menggunakan sudut pandang orang ke tiga
- Gaya Penulisan :
penulisan novel ini sebagian besar menggunakan bahasa melayu yang di
dalamnya terdapat sebagian kata yang kurang dapat difahami dalam bahasa
Indonesia dan tidak sesuai dengan EYD, juga terdapat beberapa peribahasa
di dalamnya..
Salah Pilih
Di
sebuah daerah di Minangkabau, tinggal sebuah keluarga. Seorang ibu,
saudara perempuannya, dan seorang anak perempuan terdapat dalam keluarga
tersebut. Anak perempuan itu bernama Asnah, ia adalah anak angkat dari
Mariati. Asnah adalah seorang gadis yang cantik, baik, sopan, lembut,
serta taat dan patuh terhadap Mariati, walaupun Mariati hanyalah ibu
angkatnya. Kebaikan hati Asnah itu pulalah yang membuat Mariati teramat
sangat sayangnya terhadap Asnah, jadilah Asnah pengobat dalam setiap
sakitnya dan penghibur dikala susahnya.
Setiap
kali perlu sesuatu, Mariati lebih senang dilayani oleh Asnah daripada
oleh Sitti Maliah, jadilah Sitti Maliah kadang-kadang merasa iri
terhadap Asnah karena tak jarang pekerjaannya tidak terpakai oleh
Mariati. Walaupun demikian, Sitti Maliah tetap senang dan sayang
terhadap Asnah karena memang perangai gadis tersebut benar-benar
baiknya.
Selain
Asnah, Mariati juga mempunyai seorang anak laki-laki bernama Asri. Asri
sama pula sayangnya terhadap Asnah sebagaimana dia menyayangi adik
kandungnya. Namun karena Asri sedang bersekolah di Jakarta, jadi dia tak
dapat selalu bertemu dengan Asnah untuk sekedar berbagi cerita.
Namun,
seiring berjalannya waktu, berubah pulalah perasaan Asnah terhadap
Asri. Semula perasaannya terhadap Asri hanya sebatas perasaan sayang
terhadap seorang saudara, namun demikian perasaan itu terus mengalir
hingga menumbuhkan benih-benih cinta di hati Asnah. Walau demikian,
Asnah tak ingin Asri mengetahui perasaan dirinya. Sebisa mungkin dia
bersikap biasa manakala Asri pulang.
Hingga tiba saat Asri tamat dari
sekolahnya, dan Mariati menyuruh Asri tinggal dan bekerja di Kampung
halamannya saja karena ia merasa ia sudah demikian tua dan sakit-sakitan
maka ia tak ingin jauh-jauh dari anak laki-lakinya itu. Sebenarnya
keinginan Mariati tadi sangat bertentangan dengan keinginan hati Asri,
karena ia sangat ingin meneruskan sekolahnya ke sekolah setingkat SMA
atau ke sekolah kedokteran, namun sebagai seorang anak yang ingin
berbakti kepada ibunya, akhirnya ia mengikuti keinginan ibunya tersebut.
Hingga suatu saat merasa bahwa Asri sudah cukup umur bahkan bisa
dibilang sudah matang untuk menikah.
Asri
menyetujui saja keinginan ibunya tersebut, hanya saja dia masih bingung
dalam mencari calon istri untuk dirinya. Asnah begitu kaget manakala ia
mendengar bahwa Asri akan segera menikah. Tapi ia berusaha sebisa
mungkin menutupi perasaannya tersebut. Asri masih bingung memilih-milih
wanita calon istrinya, sebernanya Asri dan Asnah boleh saja menikah,
hanya karena adat istiadat yang berlaku saat itu maka dirasa tidak
pantas mereka menikah karena dianggap masih sepedukuan yang berasal dari
satu kaum. Lalu dipilih-pilihlah wanita di Negerinya yang belum
menikah. Akhirnya Asri menemukan seorang gadis yang dirasa cocok untuk
menjadi pendampingnya kelak. Gadis itu adalah Saniah. Keinginannya
melamar saniah bukanlah tanpa alasan. Asri lebih dahulu tertarik kepada
kakak Saniah, yaitu Rusiah. Rusiah adalah seorang perempuan yang baik
hatinya, dan lembut perangainya. Namun ketika Asri bersekolah di
Bukittinggi, ternyata Rusiah dikawinkan dengan seorang laki-laki bernama
Sutan Sinaro. Jadi Asri memutuskan untuk meminang Saniah karena dirasa
bahwa Saniah pun tak akan jauh beda dengan kakaknya, baik rupa ataupun
perangainya.
Sampai
suatu saat Asri bersama-sama ibunya memutuskan untuk bertamu ke rumah
keluarga Saniah. Keluarga itu adalah keluarga orang terpandang, keluarga
seorang bangsawan kaya dan terpelajar. Walaupun ibu gadis tersebut
memiliki perangai yang kaku dan cenderung angkuh, namun Asri yakin bahwa
Saniah tentunya berperangai lain dengan ibunya.
Lalu,
tak berapa lama, Asri memutuskan memilih Saniah sebagai calon istrinya.
Mereka berdua melaksanakan acara pertunangan terlebih dahulu. Saat
pertunangan, Saniah benar-benar menampakkan perangai yang sangat baik,
ia pun hormat terhadap seluruh keluarga Asri. Perangai demikian itu
membuat Asri semakin yakin dengan pilihannya itu. Tak lama,
dilangsungkanlah upacara perkawinan Asri dengan Saniah yang sangat
meriah.
Setelah
menikah, mereka berdua lalu pndah ke Rumah Gedang milik keluarga Asri.
Dari situlah diketuahui bahwa perangai Saniah tidaklah seelok yang dia
perlihatkan saat sebelum menikah. Saniah begitu memandang rendah
terhadap Asnah hanya karena Asnah adalah seorang anak angkat. Dia merasa
bahwa tidak sepatutnya Asnah disejajarkan dengan dirinya yang berasal
dari kaum terpandang. Ternyata, perangai Saniah begitu angkuhnya,
berbeda dengan yang dia perlihatkan sebelum menikah dahulu. Saniah
begitu sering berkata menyindir, bersikap bengis, bahkan mencaci maki
yang begitu menyakitkan hati Asnah. Bahkan terhadap mertuanya pun,
Saniah bersikap yang kurang sopan. Namun Asnah adalah seorang gadis
tegar dan sabar yang mempunyai hati lapang, dia tak pernah membalas
perlakuan buruk dari iparnya itu.
Tak
lama setelah menikah, adat buruk Saniah semakin menjadi. Bahkan
sekarang dia berani melawan terhadap suaminya, kerap kali ia juga
berkata-kata kasar terhadap suaminya. Sehingga dapat dilihat kalau adat
Saniah tak jauh bedanya dengan ibunya, Rangkayo Saleah. Hingga membuat
kesabaran Asri kian berkurang dan akhirnya Asri membiarkan Saniah pulang
ke rumah orang tuanya manakala saat itu Sidi Sutan datang menjemput.
Yang semula bermaksud menjemput Saniah dan Asri, namun karena
pertengkaran itu, jadilah Saniah pulang sendiri.
Hingga
suatu hari Rangkayo Saleah mendapat kabar bahwa anak laki-lakinya,
Kaharuddin akan menikah dengan seorang perempuan anak seorang saudagar
batik di kota Padang, tak tertahankan lagilah amarahnya. Dianggapnya
oleh Rangkayo Saleah bahwa Kaharuddin akan menikah dengan seorang
perempuan yang tak tentu asal-usulnya. Sementara Dt. Indomo merasa tidak
setuju dengan pendapat istrinya itu, ia setuju saja anaknya menikah
dengan siapapun asal perempuan yang disukainya itu terpelajar, sehat,
orang baik-baik dan bersopan santun. Kaya, miskin, bangsawan, berbeda
negeri, dan sebagainya tidaklah dipandang sebagai alasan.
Namun
Rangkayo Saleah tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak menyetujui
pernikahan Kaharuddin. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Padang
mendatangi Kaharuddin. Kebetulan saat itu Saniah berada di rumahnya
setelah Sidi Sutan menjemputnya dari rumah Gedang. Maka diajaknya lah
Saniah pergi ke kota Padang. Di tengah jalan, kendaraan yang mereka
tumpangi sempat berhenti. Lalu sejenak Saniah memandang negeri yang ia
tinggallkan. Namun entah mengapa, begitu banyak yang ia ingat saat ia
memandang Rumah Gedang yang nampak jelas terlihat dikejauhan. Tiba-tiba
ia teringat akan suaminya, yang begitu sayang terhadapnya, maka
teringatlah ia bahwa ia telah durhaka terhadap suaminya, teringat ia
akan dosa-dosa yang telah ie perbuat terhadap orang-orang di sekitarnya,
termasuk pada Asnah. Lama benar ia memandang, seakan-akan ia akan pergi
jauh. Lalu dilanjutkannyalah perjalanan mereka. Dan Rangkayo Saleah
menyuruh kepada supir untuk memacu kendaraannya lebih cepat agar mereka
bisa lebih cepat sampai di tujuan. Sang sopirpun begitu senang ketika
Rangkayo Saleah menyuruhnya untuk memacu kendaraannya dengan cepat.
Karena baginya inilah saatnya untuk memperlihatkan kelihaiannya dalam
mengendalikan mobil, walaupun jalanan berkelok tajam, juga tebingnya
yang begitu curam.
Akhirnya,
peristiwa yang sangat tidak diharapkanpun terjadi. Sang sopir
kehilangan kendalinya, dan mobil yang dikendalikannya itu jatuh terbalik
dan masuk ke dalam sungai yang kering airnya. Rangkayo Saleah meninggal
di tempat kejadian, sementara Saniah yang kelihatannya masih bernafas
segera diselamatkan orang-orang dan dibawa ke rumahsakit. Namun karena kecelakaan
yang dialaminya begitu parah, akhirnya Saniah pn meninggal dunia
setelah sempat bertemu dan meminta maaf kepada suaminya.
Setelah
beberapa lama Saniah meninggal, begitu banyak lamaran datang kepada
Asri. Namun dia tak ingin salah pilih lagi. Dan ia memutuskan kalaupun
ia hendak menikah lagi, ia hanya akan menikah dengan orang yang sudah
sangat dikenal oleh dirinya dan dapat menjadi kawan yang selalu ada
dalam susah, sedih, senang dan gembira, yaitu Asnah. Ia tak ingin salah
pilih lagi karena ia yakin bahwa Asnah lah satu-satunya perempuan
terbaik bagi dirinya. Namun saat itu Asnah tinggal bersama Mariah,
saudara perempuan Mariati yang tinggal di Bayur. Jadilah Asri
mendatanginya sekalian minta izin kepada Mariah untuk menikahi Asnah.
Para
penghulu adat dan masyarakat pun sangat kaget mendengar keputusan Asri,
karena walau bagaimanapun, Asri dan Asnah sudah dianggap sebagai
saudara sepesukuan. Walaupun Asri tidak setuju pada pendapat
orang-orang, karena baginya Asnah hanyalah saudara angkat yang
dibesarkan bersama-sama dengannya dan tidak ada ikatan darah dengannya.
Namun,
pikiran orang-orang berlainan dengannya. Dan adat pun mengatakan bahwa
jika ada saudara sepesukuan yang melangsungkan perkawinan, maka mereka
tidak akan diakui lagi sebagai warga Minangkabau. Dan Asri, daripada ia
harus mengikuti adat yang bertentangan dengan hati nuraninya dan harus
kehilangan orang yang dicintainya, ia pun memutuskan untuk membawa Asnah
pergi meninggalkalkan Minangkabau. Dan ia pun rela melepaskan
pekerjaannya sebagai seorang Sutan Bendahara. Mereka memutuskan untuk
pergi ke Jawa.
Awalnya,
kehidupan mereka disana tidak begitu berkecukupan. Mereka pun banyak
dijauhi oleh orang-orang sekampung mereka yang kebetulan sama-sama
berniaga di Jawa. Namun karena usaha keras dan kesabarah hati mereka,
akhirnya Asri mendapatkan pekerjaan yang layak. Dan yang terpenting,
Asri mendapatkan kebahagian bersama Asnah.
Selang
berapa lama, Asri dan Asnah mendapatkan surat dari para penghulu negri
untuk segera pulang ke kampung halamannya. Karena penduduk kampung sadar
telah kehilangan orang pintar yang mempunyai cita-cita yang besar untuk
kemajuan negrinya. Seiiring kemajuan zaman, pengetahuan penduduk negri
pun sudah terbuka lebar dan mereka lebih bisa menanggapi sesuatu hal
dengan cara yang masuk akal.
Akhirnya,
Asri dan Asnah pulang kembali ke kampung halamannya. Mereka disambut
dengan suka cita oleh para penduduk disana. Asri diberikan kedudukan
sebagai Engku Sutan Bendahara. Mereka sangat dihormati oleh penduduk dan
hidup berbahagia.
Kutipan isi Novel
§ ”Apa?”
katanya dengan suara keras, ”Kaharuddin hendak kawin dengan anak
Padang, dengan orang yang tak tentu asal-usulnya? Anak durhaka! Mengapa
ia akan beristrikan orang negeri lain? Kurangkah gadis yang elok,
berbangsa dan kaya di negeri kita ini? Dan mengapa ia datang mengaki
kepada perempuan? Padahal perempuanlah yang wajib datang kepadanya!
Apalagi di Padang, - laki-laki bangsawan harus ”dijemput” oleh
perempuan! Tidak, aku tidak izin....” ( halaman 177).
§ ”Wah,
Bunda,” serunya kepada ibunya, ”alangkah indahnya dan permainya
pemandangan dari sini. Awan berarak di atas air, melindungi biduk-biduk
yang bersimpang siur itu. Wah, lihat, Bunda, kampung Kubu, mesjid dan
nun ... rumah gedang.” ketika menyebut tempat kediaman yang
ditinggalkannya dengan tak bertentu itu , sekonyong-konyong darahnya
tersirap dan hatinya berdebar-debar dengan keras. Air matanya pun jatuh
berderai ....
Hal
itu diperhatikan oleh bundanya. ”Ah, seolah-olah kita akan berjalan
lauh dan takkan .... kembali lagi.” katanya sembil menurutkan pandang
anaknya. ”Ayuh, mari ke oto pula, kita teruskan perjalanan.”
”Tunggu sebentar, Bunda hatiku ....”
”Ah, hari sudah tinggi. Nanti terlambat. ”Mari lekas!”
Sambil
melayangkan mata sekali lagi ke rumah gedang, danau dan kampung-kampung
sekelilingnya, Saniah berjalan guntai dan masuk ke dalam kendaraan
pula. Memang hatinya terharu sangat. Sedih, sayu dan rindu ... Di ruang
matanya terbayang segala kejadian dan bujur-malangnya selama bersuami,
terbayang wajah almarhumah mentuanya yang tak pernah dihormatinya,
sekalipun perempuan itu kasih dan sayang kepadanya. Ya, tampak pula rupa
Ibu Liah dan Asnah sejelas-jelasnya. Bukan keburukannya, melainkan
segala kebaikan , ketulusan dan kesabarannya semata-mata, walaupun
mereka itu senantiasa disakitinya. Dan suaminya, ah ... Air matanya
berlinang-linang, demi sosok tubuh Asri tiba-tiba ... terdiri di
hadapannya, seelok-eloknya. Tidak marah, tidak bermuka masam, melainkan
ia tersenyum simpul sedih dan belas kasihan akan dia. Sekujur badan
Saniah gemetar, sebeb bersamaan dengan pemandangan gaib itu Nur Illahi
pun seakan-akan menyinarkan ke dalam ruhnya berapa besar seseorang
istri, yang mendurhaka kepada suaminya. ”Wahai, Kanda,” katanya, ”Jiwaku
...” Dan kalau tidak takut kepada bundanya, niscaya diusulkannya supaya
haluan oto dihadapkan pulang kembali. Sungguh, -- belum pernah ia
berasa rindu sekeras dan segairat itu terhadap kepada suaminya. ”Aduh,
mengapa kutinggalkan dia dengan cara begini,” katanya dalam hatinya.
”Ampun,Kanda suamiku ... Aku sudah sesat menempuh jalan hidup, yang
sudah disurihkan baik-baik kepadaku oleh Rusiah dan St. Sinaro. – Tapi
kutempuh jua jalan ke jurang. – Ampuni kesalahanku, dosaku, ya,
Kakanda.” ( halaman 186-187)
§ ”Sutan
Bendahara terpelajar, keturunan orang baik-baik dan berbudi halus. Tak
mau menceraikan istri, yang telah dipilihnya. Sekalipun pilihanyya itu
salah. ... ” (halaman 199)
§ Pada
suatu hari, ketika penghulu kaumnya mendatangkan seorang gadis jelita,
kaya dan terpelajar, ia pun berkata terus-terang, bahwa ia takkan kawin
kalau tidak dengan Asnah ...
Bukan alang-kepalang terperanjat penghulu itu mendengar pengakuan yang ganjil itu.
”Apa?”
katanya. ”Sutan, anak orang baik-baik, anak kepala negeri dan penghulu
andika yang terhormat dan keturunan orang besar-besar dalam negri ini,
akan melanggar adat lama pusaka usang,? Tidak tahukan Sutan, bahwa orang
sesuku itu seketurunan, tidak boleh kawin-mengawini, mereka itu
bersaudara?”
”Tahu.
Malah bukan oarang sesuku saja, tapi umat manusia pun saya ketahui
seketurunan, sama-sama cucu nabi Adam dan bersaudara jua. Akan tetapi
menurut syarak atau agama kita, agama Islam, orang sesuku itu boleh kawin-mengawini, -- tiada terlarang, bukan?”
”Dalam
hal itu persaudaraan orang sesuku atau sepesukuan lebih rapat dan erat.
Laki-laki dan perempuan sepesukuan itu selubang bak tebu, searai bak
pinang. Mereka itu seutang sepembayaran, sepiutang sepenerimaan dan
sehina semalu. Mana boleh mana boleh laki-laki dan perempuan yang
demikian diperkawinkan? Menurut syarak boleh, kata Sutan tadi? Hum,
jangan Sutan lupa, bahwa syarak itu bersendi adat. Kalau bertentangan
dengan adat kebiasaan, tak mungkin syarak dijalankan di negri ini.”
”Kalau begitu, -- maaf, kalau saya katakan, bahwa orang kita belum berdiri tegak dengan yakin di atas agama
Islam, belum berpegang teguh pada ajaran agama tuhan itu. Tandanya,
Engku sendiri pun masih menguatkan tafsiran pepatah adat lama, yang
telah usang atau lapuk. Menurut pepatah adat sekarang yaitu sejak agama
dipelajari baik-baik, bukan syarak yang bersendi adat, melainkan adat
itulah yang disendikan kepada syarak dan syarak itu tetap bersendi
Kitabullah.”
”Sekalipun
demikian, Sutan, sekalipun Kitabullah atau Quran dan Hadis telah
dipelajari dan diimani serta diamalkan orang kita barangkali lebih baik
daripada di tempat lain-lain, namun adat kita itu masih berkuasa dalam
pergaulan hidup dan masyarakat kita. Jadi kehendak Sutan yang sumbang
itu tidak dapat saya perkenankan.”
”Sekali
lagi maaf, Engku, jika filsafat hidup menurut adat masih berkuasa itu
saya bantah. Pertama, karena agama tidak boleh dipermain-mainkan.
Lebih-lebih apabila rukun syaratnya memang sudah diketahui dan
diamalkan! Adat melarang laki-laki dan perempuan sesuku kawin, padahal
agama membolehkan. Lagi pula lupakah Engku bahwa Tuhan mengadakan jodoh
(perempuan) bagimu (laki-laki) dari pada dirimu (laki-laki) jua. ... ...
” (halaman 206)
§ Dan lagi:
Usang-usang (kalau telah usang) diganti, diperbaiki, dan lapuk-lapuk (kalau telah lapuk) dikajang, ditunjang.”
Datuk
Bendahara terpekur, tetapi segera mengangkatkan kepala pula dan
memandang kepada Asri tenang-tenang. Dan tiba-tiba ia pun berkata dengan
gembira, ”Ha, dibiarkan anak-anak muda memilih, kata Sutan? Pilihan
Sutan sendiri bagaimana hasilnya? ”Baik sekali,” bukan? Ha, ha, ha
.....”
Asri
merasa tepat kena pukul. Merah mukanya dan naik darahnya. Untung ia
dapat menahan hati, lalu menjawab dengan sabar dan halus, ”Pilihan saya
dahulu itu sungguh salah, Engku Datuk. Kurang hati-hati, lain tidak
karena terdorong oleh rasa hormat kepada dat kebiasaan kita jua, yaitu
mata harus mula-mula diarahkan kepada keturunan dan kekayaan si gadis.
Betul hanya karena pengaruh ada itu, Engku, padahal cita-cita perkawinan
tidak demikain. Jadi saya akui, bahwa saya ketika itu memang kurang
insaf, tidak teliti, sehingga timbul sesal. Ya, mungkin jua sebab saya
kurang mendao=pat pimpinan ..., maaf, tetapi kesalahan itu sudah menjadi
pengajaran kepada saya hingga ini ke atas. Sudah nyata kepada saya,
bahwasanya dalam hal memilih sesuatu bukannya kepada kulitnya pandang
harus ditukikan dengan hemat-cermat, melainkan terutama sekali kepada
isinya.”
Agak
merah air muka penghulu itu, karena ia merasa kena sindiran halus
daripada anak buahnya. Ia pun berkata bengan keras, ”Akan tetapi niat
Sutan hendak kawin dengan Asnah berdasarkan rasa cinta, oleh karena dia –
kata Sutan – Cuma seorang saudara angkat saja; -- ah, bukantah niat
sedemikian menunjukkan alamat atau tanda Sutan masih belum insaf, tidak
berhati-hati? Melainkan Sutan memperbesar kesalahan jua.”
”Tidak, sebab dia memang cuma
saudara angkat sesuku saja kepada saya. Apalagi sudah berulang-ulang
saya kemukakan, bahwa adat perkawinan yang Engku pertahankan itu
hanyalah kebiasaan dalam satu-satu negri saja, atau boleh dikatakan hanyalah adat-istiadat biasa saja. Masih jauh daripada tingkat adat nan sebenar adat, yang tak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas.” (halaman 207-208)
§ ”Ya,
Ibu, tentu maksud ibu susah menurut adat, bukan? Benar, di dalam
beberapa bulan perkara itu sudah kupikirkan dan kubicarakan dengan
beberapa penghulu dalam negri Sungaibatang. Mereka itu berpendapat,
bahwa aku tidak boleh kawin dengan Asnah, pertama-tama – kecuali karena
masalah sesuku itu – sebab kami sudah dianggap bersaudara sejak kecil.
Kami setepian tempat mandi, kami sepenjemuran dan sepintu gapura, --
kata dat pula. Hanya bekas mentuaku dan seorang lagi penghulu daripada
suku lain – Cuma kedua beliau itulah yang mengerti akan hasrat hatiku.
Beliau-beliau itu menerangkan bahwasanya masih ada jalan untuk melampaui
larangan adat itu, yakni lebih dahulu ”buatan diungkai dan buhul
dibuka.” Akan tetapi untuk mengungkai buatan dan membuka buhul itu aku
harus mengisi adat: memoting kerbau seekor, mengadakan beras seratus
gantang dan menjamu segala penghulu dalam negri Sungaibatang makan
minum. Jika tidak kulakukan sedemikian dan aku kawin juga dengan Asnah,
kami mesti dikeluarkan dalam adat – dan tidak diakui sebagai orang
Minangkabau lagi.”
”Jadi, bagaimana pikiranmu? Sukakah engkau mengisi adat itu?”
”Tidak,
Ibu. Sebab kurasa cara mengisi adat dengan makan-makan itu kurang
bijaksana terhadap kepada adat itu sendiri. Tidak sesuai dengan
kenyataan dan kehendak jaman. Apalagi hanya karena aku tidak tidak
mengadakan upacara ”makan besar” itu aku dibuang atau takkan diakui lagi
sebagai orang Minangkabau? Hum, bagaimana juapun daif dan lemah aku
ini, bagaimana jua pun picik dan kurang ilmu pengetahuanku, tetapi aku
senantiasa bercita-cita hendak serta meninggikan derajat
tanah-tumpah-darahku, supaya tegak sama tinggi dan duduk sama rendah
dengan suku-bangsa yang lain-lain dalam masa sekarang dan masa yang akan
datang jua. Sedikit-sedikit langkahku sedah kuarahkan ke sana. Dan
sudah mulai diikuti anak negri ... Cita-citaku tinggi melangit, Ibu!
Sebagai orang muda-muda yang cinta kepada tanah airnya dan bangsanya,
yang selalu melihat kepada masa depan, aku pun ingin menyertai mereka
itu Aku ingin mengejar kemajuan bersama-sama dengan teman hidupku ...!”
(halaman 217-218)
§ ...
Pendek kata, Asnah sungguh-sungguh kawan sejati bagi Asri, baik di
dalam kesusahan dan kesukaran, baikpun di dalam senang sentosa dan
riang-gembira. Hal itu sebagai bumi dan langit bedanya dengan
pengalamannya di kampung dahulu. ”Betul-betul salah pilih,” katanya
dalam hatinya, apabila ia teringat akan masa lampau itu, ”Akan tetapi,
ya, takdir, ....” (halaman 222)
§ Pada
suatu hari, tengah duduk bercakap-cakap dan berkelakar di beranda
rumahnya, mereka itu pun mendapat sepucuk surat dari negrinya.
”Surat
apakah ini, Asnah?” kata Asri kepada istrinya, seraya memperhatikan
nama dan alamat si pengirimnya. ”Ya, surat dari Engku Dt. Bendahara,
penghulu kita ... apa kehendak beliau itu?”
”Bukalah dan bacalah,” kata Asnah dengan manis, ”kabar baik agaknya.”
Surat itu pun dibuka oleh Asri, lalu dibacanya bersama-sama dengan istrinya.
”Benar kabar baik,” kata keduanya dengan sekaligus.
”Hura,!
Kanda diminta orang dengan keras pulang ke kampung, Kanda akan diangkat
jadi kepala negri .... Kita mesti pulang, Asnah, ke rumah gedang.”
Baharu tersebut ”rumah gedang” itu, air mata Asnah sudah berlinang-linang di pipinya, oleh karena sangat sukacita hatinya.
Di
dalam surat itu tersebut bahwa ”sekalian penghulu negri Sungaibatang
telah semupakat belaka akan memperbaiki nama Asri dan Asnah,” sebab
mereka telah melanggar adat-perkawinan yang lazim itu.
Hem,
sebenarnya istilah ”memperbaiki nama Asri dan Asnah” itu tidak betul.
Yang betul adalah kebalikannya. Oleh karena desakan anak negri yang
sudah berasa kehilangan seorang-orang pandai, orang terpelajar, semenjak
Asri meninggalkan kampungnya, sehingga cita-cita kemajuan yang
dirancangkannya dan dimulainya dahulu boleh dikatakan tinggal
terbengkalai saja, maka bagaimana jua pun akhirnya timbulah hasrat baik
... Berhubung dengan kematian kepala negri di situ, maka sekalian
penghlu, iman-khatib, orang cerdik-pandai serta anak negri sudah
semupakat belaka, akan memilih Asri jadi kepala negri Sungaibatang.
Bulat subah boleh digulingkan, pecak sudah boleh dilayangkan, maka
sekalian orang meminta dengan sangat, supaya orang muda itu pulang
selekas-lekasnya. Dan engku Dt. Bendahara pun berjanji akan ”hidup
berkerelaan” dengan Asri; ilamana Asri sudah tiba di negrinya, pangkat
penghulu itu akan diserahkan kepadanya.
Pikir
Asri, hal itu sangat penting. Tentang halnya akan dijadikan penghulu
itu, sudah lama tersimpan di dalam hatinya. Selama ia tinggal di
kampung, ia sudah memperhatikan kebaikan adat Minangkabau tentang hal
berkaum-keluarga, mengatur masyarakat rukun damai dan mengamankan negri.
Asas ast itu sungguh bagus, berdasar kepada kata mupakat. Demokrasi
.... Hanya beberapa pasal dari pada aturan/cara menjalankan adat itu
mungkin tidak sesuai lagi dengan keadaan jaman, tidak elok dan tidak
layak lagi dilakukan pada masa ini. Akan mengubah barang suatu yang
telah berurat-berakar dalam masyarakat, -- itulah pekerjaan yang sangat
sukar. Sebab kebanyakan anggota adat itu seolah-olah tidak hidup
bersama-sama dengan kecerdasan dan peredaran zaman.
Akan
tetapi, lama-kelamaan niscaya kesukaran itu akan hilang-lenyap juga,
perubahan akan timbul dan dapat dicapai, apabila pimpinan adat sudah
dipegang oleh orang muda-muda yang terpelajar, berilmu pengetahuan dan
berhaluan kemajuan terutama tentang masalah hidup dalam masyarakat umum.
Ya, asal mereka itu tidak mengabaikan dasar filsafat adat Minangkabau
yang sebenarnya, yaitu rasa, akal dan pikiran, yang disertai dengan
keyakinan beragama, berbangsa dan bertanah air. (halaman 223-224)
§ Pidato pendek yang tegas itu disambut oleh hadirin dengan tempik sorak riuh-rendah.
”Terima
kasih,” kata kedua suami istri itu. Setelah itu keduanya pergi
mendapatkan ibu Liah serta orang-orang setangganya, lalu masuk ke dalam
rumah dengan sangat terharu hatinya.
”Untung, Asnah, untung besar! Di sini kita akan hidup berbahagia selama-lamanya,” ujar Asri.
”Alhamdulillah!”
sahut Asnah sambil duduk di kursi ruang tengah serta melayangkan mata
berkeliling dengan rindunya. ”Teringat oleh adindi masa dahulu .... Akan
tetapi, Kakanda, demi adinda lihat ruant sebelah di atas itu, maaf,
terlukis pula di ruang mata adinda masa Adinda ....”
Tiba-tiba, air matanya bercucuran.
”Akibat
salah pilih, yaitu kesalahan kakanda yang sudah lama Adinda betulkan
dan sempurnakan” ujar Asri dengan terharu benar-benar, sebab peringatan
itu membayangkan pahit-getir hidupnya pada masa dahulu di dalam jiwanya.
(halaman 230-231).
No comments:
Post a Comment